Peran dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam IPTEK dan IPTAK
Peran dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam IPTEK dan IPTAK
Peran dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam IPTEK dan IPTAK
Peran dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam IPTEK dan IPTAK
dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kegiatan keagamaan. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita.
A. BAHASA INDONESIA DALAM ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Di samping itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita. Bahasa adalah kunci untuk membuka khasanah pengetahuan. Bila di dalam karya sastra terdapat pengetahuan dan nilai-nilai spiritual kultural, maka di dalam buku-buku ilmu pengetahuan terdapat ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai disiplin ilmu. Hanya dengan bahasalah kita dapat menguasai ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan di Inggris. Perkembangan bahasa Inggris seimbang dengan perkembangan ilmu pengetahuannya.
Hal tersebut disebabkan buku-buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi menggunakan bahasa Inggris. Keadaan tersebut tidak sebaik pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia selalu ketinggalan, perkembangannya tak selaju perkembangan budaya bangsanya. Oleh sebab itu, walaupun bahasa Indonesia sudah berperan sebagai alat persatuan tetapi belum dapat berperan sebagai pengantar ilmu pengetahuan. Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta manfaat yang dapat diberikan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat dilakukan baik melalui penulisan maupun penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan yang dilaksanakan dengan mempergunakan bahasa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sebagian besar ilmu pengetahuan masih asing.
Untuk itu, bangsa Indonesia perlu membiasakan sikap ilmiah dengan cara melengkapi buku-buku ilmiah sebagai salah satu syarat. Menurut Amran Halim (dalam Bakry, 1981: 179) kesalahan tersebut bukan disebabkan kemiskinan bahasa Indonesia. Artinya, hal tersebut bukan disebabkan oleh ketidakmampuan bahasa Indonesia sebagai pengantar ilmu pengetahuan, tetapi karena kekurangan bahasa Indonesia dalam hal peristilahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itulah sebabnya, Pusat Bahasa sampai saat ini masih melakukan upaya untuk menciptakan istilah-istilah baru untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Usaha lain yang harus dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan cara kita harus menerjemahkan semua buku ilmu pengetahuan di dunia ini ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya informasi ilmiah dalam bahasa Indonesia itu, pasti akan ada kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan yang berarti meningkatkan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah.
Berarti pula bahasa Indonesia mampu duduk sejajar dengan bahasa-bahasa modern lain, sejajar dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Selain itu, dewasa ini bahasa Indonesia di negara sudah menjadi wahana kegiatan keagamaan yang cukup efektif. Hal tersebut tidak mengherankan, sebab sejak zaman dulu, waktu masih bernama bahasa Melayu, bahasa Indonesia sudah menjadi alat pengkajian dan penyiaran agama yang andal.
B. BAHASA INDONESIA DALAM KEGIATAN KEAGAMAAN
Seperti kita ketahui bersama, bahwa dewasa ini bahasa Indonesia banyak dipergunakan dalam aktivitas keagamaan sebagai alat/sarana komunikasi untuk menginformasikan pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Hal tersebut sudah terjadi sejak negara maritim Sriwijaya yang beribu kota di Sumatra pernah menjadi pusat pengajian dan penyiaran agama Budha.
I Tsing, musafir dari Cina, memperdalam pengetahuannya tentang agama Budha di ibu kota Sriwijaya tersebut. Dengan bahasa, apa lagi agama Budha kala itu dipelajari dan disebarkan dari ibu kota Sriwijaya kalau tidak dengan bahasa wilayah itu juga, bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Sriwijaya, atau apapun namanya. Di samping itu, di wilayah Jawa Tengah terdapat sebuah prasasti yang berasal dari abad VII, dikenal dengan nama prasasti Canggal, ditulis dalam bahasa Melayu. Di situ pasti sudah ada bahasa untuk komunikasi antarpenduduk setempat, bahasa Jawa. Prasasti itu berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Setelah agama Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara, tak dapat diragukan lagi bahwa bahasa Melayu juga ikut memegang peranan penting untuk penyebarannya agama ke daerah-daerah yang jauh.
Hal tersebut tidak mengherankan karena secara kebetulan penutur asli bahasa tersebut tinggal di daerah strategis yang banyak disinggahi atau juga dijadikan tempat bermukim untuk waktu pendek ataupun panjang oleh para pedagang dan para musafir. Demikian pula dengan bangsa Portugis, bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia, dalam usaha perdagangan dan misinya menyebarkan agama di Kepulauan Maluku, juga menggunakan bahasa Melayu bukan bahasa Portugis dan bukan pula bahasa setempat sebagai bahasa pengantar. Atas dasar itu, kiranya tidak salah bila disimpulkan bahwa sudah sejak dulu bahasa Indonesia atau bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar bagi penyebaran agama di wilayah Indonesia dan bahkan di wilayah Asia Tenggara.
Meskipun tidak ada atau sedikit sekali bukti yang mendukungnya, agaknya tidak terlalu salah bila diperkirakan bahwa agama Hindu dan Budha yang ada sejak zaman dulu dipeluk oleh banyak penduduk di Indonesia/Asia Tenggara dikaji dan disebarkan dengan pengantar bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Memang tidak ada atau sedikit sekali bukti yang menunjukkan kegiatan keagamaan itu, tetapi tidak berarti kegiatan tersebut tidak ada. Hal tersebut hanya karena kegiatan baca tulis pada waktu itu juga menggunakan peralatan yang tidak efektif dan tidak dapat tahan lama. Akan tetapi pada masa sesudahnya, setelah ditemukan alat tulis yang praktis, ditemukan cukup banyak bukti kegiatan pengajian dan penyiaran agama.
Hal yang demikian itu, kita ketahui melalui bukti yang cukup banyak, yaitu berkat kemajuan teknologi perekaman, khususnya perekaman berupa tulisan. Sejak ditemukan kertas, banyak kegiatan di masa lampau termasuk kegiatan keagamaan dapat diketahui. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kegiatan keagamaan di Indonesia khususnya dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya dulu ataupun sekarang sudah banyak dilakukan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia yang pada masa lampau bernama bahasa
Bahasa Indonesia-Melayu. Agama yang dikaji dan disiarkan tersebut adalah agama Hindu, Budha, Kristen, dan Islam.
C. BAHASA INDONESIA DALAM KOMUNIKASI KEAGAMAAN
Pada sebagian masyarakat, kegiatan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan lainnya. Sebelum menuai padi, para petani memanjatkan puji syukur karena Tuhan telah berkenan memberikan panen yang baik. Sebelum turun ke laut untuk menangkap ikan, para nelayan dalam upacara keagamaan memohon kepada Tuhan agar mereka memperoleh ikan yang banyak. Masih banyak contoh lain lagi yang tidak dapat disebutkan. Puji syukur para petani dan permohonan para nelayan itu tentu saja menggunakan bahasa. Oleh sebab itu, sukar untuk ditetapkan kapan mulainya bahasa digunakan dalam komunikasi keagamaan.
Bila hendak dikatakan juga, ”bahasa digunakan sejak manusia melakukan kegiatan dengan menggunakan bahasa”. Kegiatan keagamaan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi juga sudah ada sejak lama sekali. Adanya mantra-mantra yang sampai sekarang masih dikenal orang, menunjukkan bukti kegiatan itu. Para ahli berpendapat bahwa mantra-mantra itu sudah ada sejak sebelum agama Islam datang ke Indonesia, bahkan sebelum agama Hindu dan Budha. Mantra-mantra itu diajarkan oleh guru kepada murid, oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
Tentu saja semuanya masih serba lisan sebab tulisan pada saat itu belum dikenal. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa pada saat itu bahasa Indonesia dipakai sebagai sarana komunikasi keagamaan. Jika komunikasi keagamaan tersebut dapat juga ditafsirkan bukan hanya komunikasi dari manusia kepada Tuhan, dan sebaliknya, tetapi juga dari manusia kepada manusia sepanjang masih dalam rangka kegiatan keagamaan, maka saat tersebut juga dapat menjadi buktinya. Kegiatan keagamaan agar dapat juga dilakukan oleh orang lain haruslah diajarkan. Mengajarkannya tentulah dengan bahasa dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya, kira-kira pada permulaan tarikh Masehi datanglah agama Hindu dan Budha dari India. Di tanah aslinya bahasa yang digunakan dalam komunikasi untuk kedua agama itu ialah bahasa Sanskerta untuk agama Hindu dan bahasa Pali untuk agama Budha. Untuk penyebarannya ke daerah lain, bantuan bahasa setempat sangatlah diperlukan. Wilayah Indonesia yang paling dekat dan paling mudah dicapai dari India adalah di sekitar Selat Malaka. Oleh karena itu, dalam usaha menyiarkan kedua agama itu ke wilayah Indonesia lainnya, bahasa Indonesia tetap memegang peranan yang penting.
I Tsing, seorang musafir Cina, yang juga penulis, berkunjung ke Sriwijaya pada abad ketujuh mengatakan bahwa bahasa Kwunlun (K’un-lun) adalah bahasa agama Budha yang penting di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, banyak terjemahan ke dalam bahasa Cina dalam masalah agama Budha itu yang bersumber pada bahasa Kwunlun. Apa yang dimaksud dengan bahasa Kwunlun oleh I Tsing tidak lain adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Sriwijaya memang pada waktu itu menjadi pusat ilmu agama Budha. Banyak orang terpelajar datang ke situ untuk memperdalam ilmu itu, baik dari wilayah Indonesia lainnya maupun dari negara lain. Karena bahasa negara Sriwijaya adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, dengan sendirinya bahasa itu memberikan sumbangan yang besar dalam penyiaran agama itu ke daerah-daerah lain. Selanjutnya, ketika agama Islam datang ke kawasan Asia Tenggara, bahasa setempat pertama-tama berkenalan dengan agama itu adalah bahasa Indonesia juga. Raja yang pertama memeluk agama Islam di Indonesia adalah Sultan Malik al-Saleh, di Perlak, Aceh, yang meninggal pada tahun 1297. Bahasa negara bagi kesultanan itu adalah bahasa Indonesia juga.
Dari Kerajaan Samudra itu agama Islam kemudian berkembang ke Malaka dan dari Malaka itulah kemudian Islam berkembang ke wilayah Indonesia lainnya. Memang dalam perkembangannya kemudian, bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa yang tunggal untuk penyiaran agama Islam di Indonesia sebab ada pula bahasa Jawa yang dipakai di Pulau Jawa untuk orang-orang yang berbahasa Jawa, Sunda, Madura, serta bahasa Bugis dan Makasar untuk penduduk di wilayah timur. Walaupun demikian bahasa Indonesia tetap memegang peranan yang terpenting. Ini diakui oleh para ulama. Mereka menggunakan istilah allughat al-Jawi. Penggunaan Jawi sampai sekarang bukan hanya untuk bahasa atau suku Jawa, tetapi untuk seluruh kawasan Asia Tenggara. Betapa pun pentingnya peranan bahasa Indonesia untuk sarana komunikasi keagamaan dapat dibuktikan dari perbandingan jumlah kata pinjaman dari kedua bahasa agama itu, yaitu bahasa Sanskerta dan bahasa Arab. Kata pinjaman dalam bidang agama seperti sorga, neraka, dewa (dari bahasa Sanskerta), mesjid, kitab, subuh (dari bahasa Arab) jauh lebih banyak dibandingkan dengan kata pinjaman dalam bidang-bidang lainnya. Hal ini berbeda dengan kata pinjaman yang berasal dari bahasa Belanda.
Bahasa Indonesia-Inggris, misalnya, perbandingan antara kata-kata dalam bidang keagamaan dengan bidang-bidang lainnya tidak seperti itu. Ketika datang agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan yang dibawa oleh orang Eropa, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa pembuka jalan untuk penyiarannya ke wilayah Indonesia lainnya. Kitab Injil dalam bahasa setempat yang pertama terbit juga dalam bahasa Indonesia. Demikian juga halnya, banyak tempat ibadah yang dalam waktu-waktu yang lalu hanya menyelenggarakan khotbah-khotbahnya dalam bahasa daerah atau bahasa lainnya, sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Juga lembaga pendidikan keagamaan tradisional, yaitu pondok pesantren yang dulu hanya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dan bahasa pergaulan, sekarang sudah banyak yang menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu dapat dipahami karena makin banyak santri yang datang dari daerah lain yang tidak memahami bahasa-bahasa daerah tempat ia belajar. Juga karena para kiai dan santri daerah itu sendiri makin banyak yang dapat berbahasa Indonesia sehingga tidak mengalami kesukaran dalam penggantian bahasa pengantar dan bahasa pergaulan di lingkungan pondok pesantren itu.
Buku-buku keagamaan dalam bahasa Indonesia juga makin banyak yang diterbitkan, termasuk penerjemahan kitab-kitab suci. Di samping untuk turut memasyarakatkan bahasa Indonesia, penerbit dan juga pengarangnya menginginkan agar buku-bukunya dibaca oleh sebanyak-banyaknya orang. Itu hanya dapat dicapai kalau buku-buku yang diterbitkan ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau bahasa asing. Menurut catatan, dari sekian jumlah penerbitan akhir-akhir ini sebagian besar merupakan buku-buku agama (terutama Islam). Ini mempunyai arti bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan akan meningkat sesuai dengan perkembangan dan kemajuan bangsa.
REFERENSI
http://repository.ut.ac.id/4059/1/MKDU4110-M1.pdf